![]()
Sebagai penulis, saya selalu merasa bahwa mengkaji perjalanan hidup para wali Allah adalah sebuah perjalanan batin yang tidak kalah penting dari membaca kitab-kitab ilmu yang kering dari sentuhan ruhani. Dalam pencarian ini, saya menemukan sebuah karya yang memikat hati: Abu al-Hasan al-Syadzili: Hayatuhu, Tasawwufuhu, Talamidzuhu wa Atsaruhu karya Ma’mun Gharib. Kitab ini tidak sekadar memaparkan biografi seorang tokoh sufi besar, tetapi juga menyingkap pandangan hidup, metode tarbiyah, serta warisan spiritual yang beliau tinggalkan bagi murid-muridnya dan dunia Islam. Membaca lembar demi lembar, saya merasakan seolah diantar untuk bertemu langsung dengan Abu al-Hasan al-Syadzili, menyimak nasihatnya, dan meresapi getaran zikir yang tak lekang oleh zaman.

Judul: أبو الحسن الشاذلي: حياته، تصوفه، تلاميذه وآثاره
Penerbit: دار الفضيلة (Dar al-Fadhilah)
Tempat terbit: Kairo
Tahun: tidak tercantum (t.t. = tanpa tahun)
Penemuan kitab ini menjadi semacam pintu masuk bagi saya untuk menyelami lebih jauh pemikiran dan laku hidup seorang pendiri Tarekat Syadziliyah yang namanya harum di seluruh penjuru dunia Islam. Di tengah gemuruh problematika umat, warisan tasawuf beliau menawarkan keseimbangan antara keteguhan berpegang pada syariat dan kelapangan hati dalam merangkul sesama. Dengan mengkaji kitab ini, saya berharap dapat mengekstrak pelajaran-pelajaran berharga yang relevan untuk zaman kita, sekaligus menyalakan kembali api kecintaan kepada para wali sebagai teladan hidup yang membimbing kita menuju ridha Allah.
Sebuah Kajian Mukadimah
Mukadimah kitab ini dibuka dengan ungkapan cinta penulis kepada orang-orang saleh dan riwayat hidup mereka. Ma’mun Gharib menegaskan bahwa para wali dan auliya’ adalah benteng bagi umat, teladan bagi hati yang rindu pada Allah, dan pemadam api hawa nafsu dan godaan setan (Gharib, hlm. 5). Pandangan ini sejalan dengan tradisi klasik dalam literatur tasawuf, di mana pengetahuan tentang kehidupan para wali dianggap sebagai sarana menumbuhkan kecintaan kepada mereka dan meniru akhlak mereka. Di sini terlihat bahwa penulis tidak memulai mukadimahnya dengan uraian akademik kering, melainkan dengan nada penuh rasa cinta dan penghormatan.
Penulis kemudian menceritakan bahwa yang mendorongnya menulis kitab ini adalah keinginannya menghidupkan kembali memori kolektif tentang para wali, khususnya Abu al-Hasan al-Syadzili, agar umat mengenal sosok-sosok yang telah mengorbankan hidupnya demi kebaikan orang banyak. Dalam mukadimah, ia menyebutkan pengalamannya menghadiri peringatan haul para wali, menyaksikan keramaian zikir dan doa bersama, serta mendengar kisah-kisah luhur dari para mursyid (Gharib, hlm. 5-6). Semua ini memberi inspirasi yang mendalam untuk meneladani jalan hidup para kekasih Allah.
Dalam halaman berikutnya, Ma’mun Gharib menyinggung perjalanannya dalam mempelajari tasawuf, mengkaji bagaimana Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam zuhud, sabar, dan pengendalian diri (Gharib, hlm. 6). Ia menyoroti bahwa Nabi selalu memulai malam dengan qiyamullail dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk doa dan munajat. Di sini, penulis ingin menunjukkan kesinambungan spiritual antara ajaran Nabi dan jalan para wali yang datang sesudahnya. Ia juga menegaskan bahwa tasawuf sejati tidak pernah terlepas dari Al-Qur’an dan Sunnah, menolak bentuk-bentuk penyimpangan seperti ittihad atau hulul yang keluar dari batas syariat.
Selanjutnya, penulis mengungkapkan bahwa perhatiannya pada tasawuf muncul dari rasa haus akan pemurnian hati, di tengah kegelisahan melihat kesalahpahaman sebagian orang terhadap tasawuf (Gharib, hlm. 7). Ia melihat adanya pandangan-pandangan yang memisahkan tasawuf dari syariat, padahal dalam pandangan ulama besar, keduanya tak terpisahkan. Di titik ini, Ma’mun Gharib menempatkan Abu al-Hasan al-Syadzili sebagai contoh sempurna dari seorang wali yang memadukan kedalaman spiritual dengan keteguhan dalam hukum-hukum syariat.
Mukadimah ini juga memuat penilaian penulis terhadap tokoh Abu al-Hasan al-Syadzili. Menurutnya, sang imam adalah sosok yang menguasai ilmu lahir dan batin, memiliki pemahaman yang mendalam tentang akhlak, strategi dakwah, serta mampu membimbing murid-muridnya menuju kedewasaan rohani (Gharib, hlm. 8). Penulis menekankan bahwa tarekat Syadziliyah, sebagaimana dirumuskan Abu al-Hasan, adalah jalan yang bersih dari bid’ah dan khurafat, mengedepankan dzikir, ilmu, dan amal.
Di bagian akhir mukadimah, Ma’mun Gharib menyinggung sejarah pergerakan Abu al-Hasan, mulai dari pertemuannya dengan guru-guru besar, pengembaraan spiritualnya dari Maroko hingga Mesir, perannya dalam membimbing masyarakat, hingga wafatnya (Gharib, hlm. 9-10). Penulis memandang bahwa riwayat hidup seperti ini layak dibukukan agar menjadi sumber inspirasi bagi generasi selanjutnya. Dengan demikian, mukadimah ini bukan hanya pengantar, melainkan juga sebuah ajakan untuk mendekat pada Allah melalui teladan para wali.
Refleksi dari mukadimah ini memberikan pelajaran bahwa menghargai para wali bukanlah bentuk pengkultusan, tetapi cara untuk menjaga kesinambungan nilai-nilai moral dan spiritual dalam umat. Ketika penulis menggambarkan Abu al-Hasan sebagai sosok yang teguh dalam syariat namun luas dalam hikmah, ia sedang mengajarkan keseimbangan: tidak terjebak pada formalitas lahiriah semata, dan tidak larut dalam spiritualitas yang mengabaikan hukum-hukum agama. Mukadimah ini juga menegaskan bahwa tasawuf sejati adalah perjalanan menuju Allah yang berlandaskan ilmu, amal, dan cinta.
Pesan penting yang tersirat adalah bahwa kita perlu menelusuri kembali jejak para wali agar mampu membangun kehidupan yang selaras antara urusan dunia dan akhirat. Dalam konteks modern, di mana manusia sering kehilangan orientasi hidup, teladan Abu al-Hasan al-Syadzili dan para wali lainnya menjadi penuntun yang meneguhkan hati. Nilai-nilai seperti kesabaran, keteguhan, kepedulian sosial, dan konsistensi dalam ibadah tetap relevan dan dibutuhkan.
Dengan demikian, mukadimah ini memberi penegasan bahwa penulis ingin menghadirkan Abu al-Hasan al-Syadzili bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai guru kehidupan. Ia mengajak pembaca untuk melihat kembali bagaimana para wali menjalani hidup dengan komitmen kepada Allah, serta menyalurkan energi spiritualnya untuk membimbing dan menyejukkan umat.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .