![]()
المقدمة الثانية: إن المقدمات المستعملة في هذا العلم والأدلة المعتمدة فيه لا تكون إلا قطعية، لأنها لو كانت ظنية لم تفد القطع في المطالب المختصة به. وهذا بين. وهي إما عقلية، كالراجعة إلى أحكام العقل الثلاثة: الوجوب والجواز والاستحالة، وإما عادية، وهي تتصرف ذلك التصرف أيضاً، إذ من العادي ما هو واجب في العادة أو جائز أو مستحيل؛ وإما سمعية، وأجلها المستفاد من الأخبار المتواترة في اللفظ، بشرط أن تكون قطعية الدلالة، أو من الأخبار المتواترة في المعنى، أو المستفاد من الاستقراء في موارد الشريعة. فإذاً الأحكام المتصرفة في هذا العلم لا تعدو الثلاثة: الوجوب والجواز والاستحالة، ويلحق بها الوقوع أو عدم الوقوع، فأما كون الشيء حجة أو ليس بحجة فراجع إلى وقوعه كذلك، أو عدم وقوعه كذلك. وكونه صحيحاً أو غير صحيح راجع إلى الثلاثة الأول. وأما كونه فرضاً، أو مندوباً، أو مباحاً، أو مكروهاً، أو حراماً، فلا مدخل له في مسائل الأصول من حيث هي أصول، فمن أدخلها فيها فمن باب خلط بعض العلوم ببعض.
Terjemahan
Muqaddimah kedua: Sesungguhnya premis-premis yang digunakan dalam ilmu ini (ilmu usul fiqh) dan dalil-dalil yang dijadikan sandaran di dalamnya tidak boleh kecuali bersifat qat‘i. Sebab, jika premis itu bersifat zhannī, maka ia tidak akan memberikan kepastian dalam permasalahan yang menjadi kekhususan ilmu ini. Hal ini jelas. Premis tersebut bisa bersifat ‘aqliyyah, yakni yang kembali kepada tiga hukum akal: wujūb (keharusan), jawāz (kebolehan), dan istihālah (kemustahilan). Bisa juga bersifat ‘ādiyyah (berdasarkan kebiasaan), yang juga memiliki bentuk pengaturan yang sama, sebab dalam kebiasaan ada yang secara adat menjadi wajib, boleh, atau mustahil. Atau bersifat sam‘iyyah (bersumber dari wahyu), yang paling utama adalah yang diperoleh dari khabar mutawātir secara lafzi dengan syarat memiliki dalālah yang qat‘i, atau dari khabar mutawātir secara makna, atau yang diperoleh dari istiqrā’ terhadap sumber-sumber syariat.
Muqaddimah Kedua: Premis dan Dalil dalam Usul Fiqh Harus Bersifat Qat‘i
Imam Abū Isḥāq al-Syāṭibī (w. 790 H) dalam al-Muwāfaqāt memulai muqaddimah kedua dengan sebuah prinsip epistemologis yang memperkuat muqaddimah pertama. Jika pada muqaddimah pertama beliau menegaskan bahwa usul fiqh sebagai ilmu adalah qat‘i, maka pada muqaddimah kedua beliau memperinci bahwa premis-premis (al-muqaddimāt) dan dalil-dalil (al-adillah) yang digunakan dalam usul fiqh tidak boleh kecuali bersifat qat‘i. Beliau menulis: “Sesungguhnya premis-premis yang digunakan dalam ilmu ini dan dalil-dalil yang dijadikan sandaran di dalamnya tidak boleh kecuali bersifat qat‘i, karena jika premis itu bersifat zhannī, maka ia tidak akan memberikan kepastian dalam permasalahan yang menjadi kekhususan ilmu ini” (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 23). Pernyataan ini menunjukkan bahwa al-Syāṭibī tidak hanya memperhatikan status epistemik usul fiqh secara umum, tetapi juga menaruh perhatian pada kualitas epistemik dari komponen-komponen yang membentuk ilmu ini. Dalam logika, hasil dari suatu kesimpulan sangat bergantung pada kualitas premisnya. Jika premis lemah, kesimpulan pun tidak bisa diandalkan. Karena itu, memastikan bahwa premis dan dalil bersifat qat‘i adalah syarat mutlak bagi validitas kesimpulan yang dihasilkan dalam usul fiqh.
Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:
- Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
- Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
- Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
- Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
- Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
- Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
- Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
- Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
- Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
- Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
- Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.
Kategori Premis Qat‘i: ‘Aqliyyah, ‘Ādiyyah, dan Sam‘iyyah
Al-Syāṭibī membagi premis qat‘i dalam usul fiqh ke dalam tiga kategori. Pertama, premis ‘aqliyyah, yaitu premis yang kembali kepada tiga hukum akal yang bersifat universal: wujūb (keharusan), jawāz (kebolehan), dan istihālah (kemustahilan). Hukum akal ini bersifat pasti dan berlaku secara universal tanpa dipengaruhi oleh adat atau kondisi. Contohnya, akal pasti menghukumi bahwa sesuatu tidak mungkin ada dan tidak ada pada saat yang sama (istihālah), atau bahwa sesuatu yang memiliki sebab pasti akan menghasilkan akibatnya (wujūb). Kedua, premis ‘ādiyyah (berdasarkan kebiasaan), yang meskipun bersumber dari pengamatan terhadap pola yang berulang, tetap dapat mencapai tingkat kepastian. Sebab dalam adat, ada hal-hal yang secara kebiasaan selalu terjadi (wajib), kadang terjadi (jā’iz), atau tidak pernah terjadi (mustahīl). Misalnya, secara adat kita mengetahui bahwa api membakar, atau bahwa manusia bernapas untuk hidup. Ketiga, premis sam‘iyyah, yaitu premis yang bersumber dari wahyu, khususnya yang diperoleh dari khabar mutawātir baik secara lafzi maupun maknawi, atau dari hasil istiqrā’ (induksi) terhadap dalil-dalil syariat. Premis sam‘iyyah yang qat‘i memiliki bobot epistemik tertinggi dalam konteks hukum Islam, karena bersandar pada sumber yang diyakini terjaga oleh Allah. Al-Syāṭibī menekankan bahwa dalam usul fiqh, premis sam‘iyyah harus memenuhi syarat qat‘iyyat al-dalālah (maknanya pasti), sehingga tidak menimbulkan multi-interpretasi yang bisa merusak kepastian hukum.
Pembatasan Hukum Usul Fiqh pada Tiga Kategori Akal
Setelah menjelaskan jenis premis, al-Syāṭibī menegaskan bahwa hukum-hukum yang digunakan dalam usul fiqh hanya berkisar pada tiga kategori akal: wujūb, jawāz, dan istihālah. Ia menambahkan satu kategori tambahan yang bersifat turunan, yaitu wuqū‘ (terjadinya sesuatu) atau ‘adam al-wuqū‘ (tidak terjadinya sesuatu). Misalnya, penentuan apakah suatu dalil dapat dijadikan hujjah atau tidak, kembali kepada fakta terjadinya (wuqū‘) atau tidak terjadinya sifat tersebut pada dalil itu. Begitu pula penentuan sah atau tidak sahnya suatu tindakan kembali kepada tiga kategori akal tersebut. Dengan pembatasan ini, al-Syāṭibī menggarisbawahi bahwa usul fiqh adalah ilmu yang bekerja pada level metodologi dan epistemologi, bukan pada level hukum praktis (ahkam al-furu‘). Karena itu, hukum-hukum seperti fardhu, sunnah, mubah, makruh, atau haram tidak menjadi bagian dari usul fiqh dari sisi ia sebagai usul, melainkan menjadi pembahasan dalam fikih praktis. Beliau memperingatkan bahwa orang yang memasukkan hukum-hukum amaliyyah tersebut ke dalam usul fiqh telah melakukan pencampuran disiplin ilmu, yang pada akhirnya merusak kejelasan dan fokus metodologi usul fiqh.
Analisis Epistemologis: Mengapa Harus Qat‘i?
Secara epistemologis, alasan al-Syāṭibī menuntut premis qat‘i sangat kuat. Dalam ilmu logika, kesimpulan (natījah) akan selalu mengikuti kualitas premis (muqaddimah). Kaidah “al-natījah tattabi‘ al-aḍ‘af” (hasil mengikuti yang terlemah) berlaku mutlak: jika salah satu premis lemah, kesimpulan pun menjadi lemah. Dengan demikian, memastikan seluruh premis bersifat qat‘i adalah langkah pertama untuk memastikan kesimpulan hukum yang dihasilkan juga qat‘i. Ini sangat penting dalam usul fiqh, karena ilmu ini menjadi acuan utama dalam merumuskan kaidah istinbāṭ hukum. Jika kaidah istinbāṭ dibangun di atas premis yang lemah, maka seluruh hasil ijtihad yang dihasilkan akan rapuh, mudah dipatahkan, dan tidak memiliki otoritas yang cukup untuk menjadi pegangan umat. Di sini terlihat bahwa al-Syāṭibī membangun al-Muwāfaqāt dengan kesadaran epistemologis yang sangat tinggi, memadukan logika murni, observasi adat, dan kekuatan wahyu sebagai basis ilmu.
Dari muqaddimah kedua ini, ada beberapa hikmah penting. Pertama, pentingnya menjaga kualitas epistemik instrumen hukum. Dalam konteks modern, ini mengajarkan kita untuk selalu memeriksa validitas metodologi yang kita gunakan sebelum menghasilkan fatwa atau kebijakan hukum. Kedua, pentingnya membedakan antara disiplin ilmu. Usul fiqh memiliki domain yang berbeda dengan fikih praktis. Mencampurkan keduanya akan mengaburkan peran metodologi dan berpotensi melahirkan kekacauan hukum. Ketiga, perlunya mengintegrasikan sumber akal, adat, dan wahyu dalam membangun kerangka hukum yang kokoh. Keempat, prinsip kesesuaian antara tujuan dan sarana: jika tujuan kita adalah menghasilkan hukum yang pasti, maka sarana (premis dan dalil) yang digunakan juga harus pasti.
Refleksi Kontemporer
Di era informasi saat ini, tantangan terbesar dalam penetapan hukum Islam adalah banjirnya data dan pendapat yang bersumber dari premis-premis lemah. Banyak opini hukum yang beredar luas di media sosial dibangun dari cuplikan dalil parsial, data yang belum diverifikasi, atau logika yang tidak konsisten. Prinsip al-Syāṭibī bahwa premis dan dalil dalam usul fiqh harus qat‘i menjadi sangat relevan sebagai filter. Misalnya, dalam penetapan hukum terkait teknologi baru seperti kecerdasan buatan, kripto, atau rekayasa genetika, sangat mudah terjebak pada kesimpulan yang dibangun dari asumsi yang belum teruji. Dengan menerapkan prinsip ini, para mujtahid dan akademisi hukum Islam diingatkan untuk memulai setiap analisis dari premis yang pasti: apakah itu hasil dari hukum akal yang tak terbantahkan, pola adat yang teruji, atau dalil wahyu yang maknanya jelas dan disepakati. Prinsip ini juga bermanfaat dalam dunia fatwa kontemporer yang memerlukan kecepatan sekaligus ketelitian, agar hukum yang dihasilkan tidak hanya cepat tetapi juga kokoh secara epistemologis.
Dengan demikian, muqaddimah kedua al-Muwāfaqāt memperdalam pesan muqaddimah pertama: tidak hanya status usul fiqh secara umum yang harus qat‘i, tetapi setiap komponen yang digunakan di dalamnya—premis dan dalil juga harus qat‘i. Al-Syāṭibī membagi premis ini menjadi tiga kategori: akal, adat, dan wahyu, dengan penekanan bahwa ketiganya harus mencapai tingkat kepastian. Beliau juga membatasi hukum usul fiqh pada tiga kategori akal: wujūb, jawāz, dan istihālah, sehingga menghindari pencampuran dengan fikih praktis. Pesan ini adalah panggilan untuk menjaga kemurnian dan kekuatan metodologi hukum Islam, sekaligus menjadi panduan praktis bagi ulama dan cendekiawan Muslim masa kini dalam merumuskan fatwa dan kebijakan hukum yang kokoh.
Referensi
Al-Syāṭibī, A. I. (n.d.). Al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-syarī‘ah (Jilid 1 hlm 23). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qur’an al-Karīm.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .