![]()
(الشاطبي، جـ 1، صـ 29–31)
كل مسألة مرسومة في أصول الفقه لا ينبني عليها فروع فقهية أو آداب شرعية، أو لا تكون عوناً في ذلك، فوضعها في أصول الفقه عارية… كما أنه لا ينبغي أن يعد منها ما ليس منها ثم البحث فيه في علمه وإن انبنى عليه الفقه… وكل مسألة في أصول الفقه ينبني عليها فقه، إلا أنه لا يحصل من الخلاف فيها خلاف في فرع من فروع الفقه فوضع الأدلة على صحة بعض المذاهب أو إبطاله عارية أيضاً.
Terjemahan Bebas
Setiap masalah yang dibahas dalam usul fiqh, jika tidak melahirkan cabang hukum fiqh atau adab syar‘i, atau tidak membantu ke arah itu, maka menempatkannya dalam disiplin usul fiqh adalah sebuah kesalahan. Sebab, ilmu ini dinisbahkan kepada fiqh semata-mata karena fungsinya untuk memberikan manfaat bagi fiqh dan merealisasikan ijtihad di dalamnya. Jika tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut, maka ia bukan bagian dari usul fiqh. Namun, ini tidak berarti bahwa semua hal yang melahirkan cabang fiqh otomatis menjadi bagian dari usul fiqh, karena kalau begitu semua disiplin ilmu seperti nahwu, bahasa, sharaf, balaghah, bahkan ilmu hitung, harus masuk ke dalam usul fiqh. Padahal, meski ilmu-ilmu tersebut dibutuhkan fiqh, mereka bukan bagian dari usulnya.
Dari sini, al-Syāṭibī menolak masuknya beberapa pembahasan yang dilakukan ulama belakangan, seperti masalah “ibtidā’ al-waḍ‘” (awal mula penetapan bahasa), perdebatan apakah ibāhah (kebolehan) adalah bentuk taklif, pembahasan perintah terhadap yang belum ada (amr al-ma‘dūm), apakah Nabi SAW terikat dengan syariat tertentu sebelum diutus, atau kaidah “tidak ada taklif kecuali dengan perbuatan.” Demikian pula, beliau menegaskan bahwa pembahasan teknis bahasa yang murni kebahasaan, meskipun berpengaruh terhadap fiqh, sebaiknya dibahas di ilmu asalnya, bukan di usul fiqh, kecuali satu bahasan inti: bahwa Al-Qur’an dan sunnah adalah teks berbahasa Arab yang harus dipahami mengikuti kaidah bahasa Arab, gaya bicara, dan konteks budaya Arab. Banyak orang keliru memahami dalil syar‘i hanya dengan logika, tanpa memperhatikan cara orang Arab memahami bahasa mereka, dan ini menurut al-Syāṭibī adalah penyimpangan besar dari maksud syariat.
Al-Syāṭibī juga menyinggung masalah dalam usul fiqh yang meski secara teori terkait dengan fiqh, tetapi tidak menimbulkan perbedaan dalam cabang hukumnya. Misalnya perbedaan dengan kaum Mu‘tazilah dalam definisi wajib muḥayyar atau haram muḥayyar—dimana perbedaan ini tidak memengaruhi praktik hukum, hanya pemahaman teoretis. Contoh lain adalah perbedaan pendapat tentang “apakah orang kafir dibebani hukum cabang (furu‘) syariat” yang menurut Fakhruddin al-Rāzī tidak melahirkan perbedaan praktis dalam hukum duniawi, melainkan sebatas konsekuensi teologis. Maka, pembahasan seperti ini tidak semestinya memenuhi ruang utama dalam usul fiqh.
Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:
- Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
- Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
- Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
- Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
- Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
- Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
- Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
- Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
- Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
- Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
- Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.
Syarah dan Analisis
Al-Syāṭibī di sini sedang menggariskan kriteria seleksi bagi materi usul fiqh. Prinsipnya jelas: usul fiqh adalah disiplin metodologis yang berfungsi sebagai kerangka ijtihad dalam hukum syar‘i. Maka, materi yang tidak memberikan kontribusi langsung atau tidak memiliki dampak pada penetapan hukum praktis harus dipisahkan dari inti disiplin ini. Dengan demikian, al-Syāṭibī memurnikan usul fiqh dari muatan ilmu lain yang walaupun bermanfaat, tetap berada di domainnya masing-masing.
Kritik beliau juga menyasar fenomena inflasi kurikulum usul fiqh di kalangan ulama belakangan, yang memasukkan isu-isu linguistik murni atau perdebatan teologis yang tidak memengaruhi fatwa. Pandangan ini penting dalam dunia akademik modern, di mana spesialisasi ilmu makin ketat dan interdisipliner dilakukan dengan kontrol metodologis yang jelas.
Penting juga peringatan beliau tentang pemahaman bahasa Arab dalam penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Syāṭibī tidak menolak peran akal, tetapi menekankan bahwa akal harus beroperasi dalam koridor kaidah bahasa Arab sebagaimana dipahami penuturnya, karena wahyu turun dalam bahasa tersebut. Mengabaikan kaidah bahasa berarti membuka peluang salah tafsir dan bahkan penyimpangan hukum.
Hikmah yang Diambil
- Usul fiqh harus fokus pada metodologi penggalian hukum, bukan sekadar kumpulan pengetahuan umum.
- Tidak semua ilmu yang dibutuhkan fiqh termasuk dalam usul fiqh; pemetaan disiplin ilmu harus jelas.
- Pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah memerlukan penguasaan bahasa Arab secara utuh, termasuk gaya bicara dan pola komunikasi masyarakat Arab klasik.
- Menghindari debat teoretis yang tidak berdampak praktis dalam penetapan hukum membantu efektivitas pembelajaran usul fiqh.
Refleksi Kontemporer
Pendekatan al-Syāṭibī ini sangat relevan bagi penyusunan kurikulum studi hukum Islam masa kini. Seringkali mahasiswa dan peneliti terjebak dalam perdebatan konseptual yang panjang tetapi tidak menghasilkan kontribusi langsung terhadap problem hukum aktual. Dengan filter yang jelas seperti yang beliau tawarkan, pembelajaran usul fiqh akan lebih fokus pada penguasaan kaidah yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan zaman, misalnya dalam hukum teknologi, bioetika, dan ekonomi digital.
Muqaddimah keempat ini memberikan panduan untuk menjaga kemurnian usul fiqh dari beban diskusi yang tidak relevan secara praktis. Fokusnya adalah pada materi yang memberi kontribusi langsung pada proses ijtihad dan penetapan hukum. Pendekatan ini mempertegas bahwa usul fiqh adalah ilmu metodologis yang berada di simpang antara nash dan praktik hukum, sehingga setiap bagiannya harus memiliki fungsi aplikatif yang jelas.
Referensi
Al-Syāṭibī, A. I. (n.d.). Al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-syarī‘ah (Jilid 1, hlm. 29–31). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .