![]()
(الشاطبي، جـ 1، صـ 38–41)
وذلك أن ما يتوقف عليه معرفة المطلوب قد يكون له طريق تقريبي يليق بالجمهور، وقد يكون له طريق لا يليق بالجمهور، وإن فُرض تحقيقاً… وعلى هذا النحو مر السلف الصالح في بث الشريعة للمؤالف والمخالف، ومن نظر في استدلالهم على إثبات الأحكام التكليفية، علم أنهم قصدوا أيسر الطرق وأقربها…
Terjemahan Bebas
Imam al-Syāṭibī menjelaskan bahwa jalan untuk memahami suatu kebenaran dalam agama dapat dibagi menjadi dua: metode pendekatan yang sesuai untuk kalangan umum (al-jumhūr) dan metode yang tidak sesuai untuk mereka. Metode pertama adalah yang digunakan syariat, yaitu penjelasan dengan cara yang sederhana, mudah dipahami, dan dekat dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Misalnya, ketika menjelaskan arti kesombongan (al-kibr), Rasulullah SAW tidak memberikan definisi filosofis yang rumit, tetapi mengartikannya secara praktis: menolak kebenaran dan meremehkan orang lain (HR. Muslim). Penjelasan seperti ini memudahkan umat untuk memahami konsep, lalu mengamalkannya.
Syariat juga mencontohkan praktik ibadah seperti shalat dan haji dengan cara yang dapat dicerna oleh masyarakat awam. Hal ini sejalan dengan karakter bahasa Arab yang menjadi medium wahyu, serta kenyataan bahwa umat awal adalah masyarakat ummiyyīn (mayoritas tidak membaca dan menulis). Oleh karena itu, bahasa penjelasan dalam syariat menggunakan istilah sehari-hari, sinonim yang mudah dipahami, dan perumpamaan konkret.
Metode kedua adalah pendekatan yang rumit, bersifat filsafat murni, atau definisi ilmiah yang sulit diakses oleh publik. Misalnya, mendefinisikan “manusia” sebagai “substansi sederhana dengan jiwa rasional yang fana” atau “planet” sebagai “permukaan dalam dari benda langit yang memancarkan cahaya dengan gerakan tertentu di pusat orbitnya”. Al-Syāṭibī menegaskan bahwa model penjelasan seperti ini bukan tujuan syariat, karena memerlukan waktu panjang untuk memahaminya, sulit dicapai oleh orang awam, dan sering kali tidak relevan dengan kewajiban praktis yang dibebankan syariat.
Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:
- Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
- Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
- Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
- Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
- Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
- Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
- Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
- Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
- Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
- Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
- Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.
Syarah dan Analisis
Inti dari muqaddimah ini adalah prinsip at-taysīr (kemudahan) dalam penyampaian ilmu agama. Al-Syāṭibī mengingatkan bahwa tujuan utama penjelasan dalam syariat adalah membantu umat memahami dan mengamalkan ajaran, bukan membebani mereka dengan terminologi yang rumit. Rasulullah SAW dan para sahabat, ketika menjelaskan hukum, memilih jalan yang paling dekat dengan akal masyarakat umum. Penjelasan tersebut tidak disusun dalam silogisme filsafat yang panjang, tetapi disampaikan secara langsung, singkat, dan mengarah pada tindakan.
Prinsip ini juga berlaku dalam usul fiqh: dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan hukum harus mudah dicerna oleh akal mayoritas, meskipun tetap kuat secara argumentasi. Bila suatu dalil hanya bisa dipahami oleh segelintir orang dengan kemampuan intelektual tinggi, sementara mayoritas umat tidak memahaminya, maka hal itu berpotensi menjadi taklīf bimā lā yutāq (membebani dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan), yang dilarang syariat.
Al-Syāṭibī menekankan bahwa para ulama salaf ketika berdialog dengan lawan debat maupun jamaah mereka selalu menggunakan metode yang langsung mengarah pada maksud syariat. Mereka tidak terikat pada susunan logis yang kaku, tetapi fokus pada efektivitas penyampaian. Bahkan ketika menggunakan dalil aqli, mereka memastikan jalurnya dekat dengan realitas dan kebutuhan praktis umat.
Hikmah yang Diambil
- Syariat menggunakan bahasa yang membumi, dekat dengan pengalaman umat, untuk memastikan pemahaman yang merata.
- Metode penjelasan agama harus mempertimbangkan kemampuan mayoritas masyarakat, bukan hanya kalangan intelektual.
- Pendekatan terlalu teoretis atau filosofis cenderung menjauhkan umat dari inti amal yang dimaksud syariat.
- Prinsip memudahkan ini adalah bagian dari sifat rahmah syariat, yang menghindari beban dan kesulitan yang tidak perlu.
Refleksi Kontemporer
Muqaddimah keenam ini sangat relevan untuk dunia dakwah dan pendidikan Islam modern. Di era digital, banyak dai dan akademisi yang menyampaikan agama dengan bahasa akademik tinggi tanpa menerjemahkannya ke bentuk yang dapat dipahami masyarakat awam. Hal ini sering membuat pesan agama tidak sampai atau bahkan menimbulkan jarak emosional antara pembicara dan audiens. Prinsip al-Syāṭibī mengingatkan bahwa komunikasi efektif dalam dakwah bukan diukur dari kompleksitas bahasa, tetapi dari sejauh mana pendengar memahami dan terdorong untuk mengamalkan pesan tersebut.
Pendekatan ini juga penting dalam pengajaran fiqh dan usul fiqh di kampus: mahasiswa perlu diajak memahami konsep melalui contoh konkret sebelum dikenalkan pada kerangka teoretis yang lebih rumit. Dengan begitu, proses pembelajaran mengikuti kaidah syariat dalam memudahkan pemahaman dan menghindari beban intelektual yang tidak proporsional.
Muqaddimah keenam menegaskan bahwa bahasa dan metode penjelasan dalam agama harus disesuaikan dengan daya tangkap mayoritas umat. Rasulullah SAW dan generasi salaf telah menunjukkan teladan dalam memberikan definisi, penjelasan, dan dalil yang mudah dicerna, sehingga umat dapat segera memahami dan mengamalkan. Pendekatan filosofis yang rumit tidak menjadi prioritas syariat, karena tujuan utama wahyu adalah membimbing amal, bukan sekadar memuaskan rasa ingin tahu intelektual.
Referensi (APA)
Al-Syāṭibī, A. I. (n.d.). Al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-syarī‘ah (Jilid 1, hlm. 38–41). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .