![]()
(الشاطبي، جـ 1، صـ 31–38)
كل مسألة لا ينبني عليها عمل فالخوض فيها خوض فيما لم يدل على استحسانه دليل شرعي، وأعني بالعمل عمل القلب وعمل الجوارح من حيث هو مطلوب شرعاً. والدليل على ذلك استقراء الشريعة: فإنا رأينا الشارع يُعرض عما لا يفيد عملاً مكلَّفاً به…
Terjemahan Bebas
Setiap masalah yang tidak berimplikasi pada amal, baik amal hati maupun amal anggota tubuh, dalam kerangka kewajiban syariat, maka membahasnya berarti membicarakan sesuatu yang tidak ada dalil syar‘i yang menunjukkan keutamaannya. Kesimpulan ini didasarkan pada penelusuran menyeluruh terhadap ajaran syariat, yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan Al-Qur’an mengarahkan perhatian hanya kepada hal-hal yang memberi manfaat langsung bagi amal seorang mukallaf. Dalam QS. al-Baqarah: 189, ketika ditanya tentang perubahan fase bulan (hilal), Allah memerintahkan Nabi menjawab bahwa hilal adalah penanda waktu bagi manusia dan ibadah haji. Jawaban itu sama sekali tidak menanggapi aspek astronomis yang dimaksud penanya, tetapi mengalihkannya pada manfaat syar‘i yang praktis.
Begitu pula ketika para sahabat bertanya tentang kapan datangnya kiamat, jawaban yang diberikan bukanlah tanggal atau tanda pasti, tetapi pengalihan pada pertanyaan “Apa yang telah kamu siapkan untuk menghadapinya?” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, yang penting bukanlah informasi spekulatif, melainkan kesiapan amal. Larangan juga diberikan dalam QS. al-Maidah: 101 agar tidak bertanya tentang hal-hal yang jika dijelaskan akan memberatkan. Ibn ‘Abbas meriwayatkan kisah Bani Israil yang terlalu banyak bertanya tentang sifat sapi betina yang diperintahkan untuk disembelih, sehingga Allah memperberat persyaratan mereka. Nabi SAW pun memperingatkan umat agar tidak mengulang kesalahan umat terdahulu yang binasa karena terlalu banyak bertanya hal-hal yang tidak perlu.
Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:
- Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
- Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
- Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
- Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
- Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
- Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
- Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
- Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
- Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
- Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
- Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.
Syarah dan Analisis
Al-Syāṭibī dalam muqaddimah ini menekankan prinsip prioritas dalam ilmu: tidak semua pengetahuan itu bermanfaat dalam perspektif syariat. Kriteria utamanya adalah apakah pengetahuan tersebut mendorong pada amal, baik amal hati (iman, ikhlas, khusyuk) maupun amal jasmani (shalat, zakat, jihad, dan seterusnya). Jika suatu pembahasan tidak mengubah sikap hati atau perilaku tubuh dalam rangka menaati Allah, maka membahasnya adalah bentuk isrāf (pemborosan) intelektual.
Prinsip ini disertai bukti dari berbagai peristiwa di zaman Nabi SAW: pengalihan pertanyaan menuju hal-hal yang bermanfaat, larangan mengajukan pertanyaan spekulatif, bahkan teguran keras dari Umar bin Khattab kepada orang-orang yang sibuk memperdebatkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak memiliki implikasi hukum. Implikasinya dalam studi usul fiqh modern sangat besar: para penuntut ilmu seharusnya menghindari pembahasan yang hanya bersifat retorik atau memicu perpecahan, tetapi tidak melahirkan pedoman amal.
Al-Syāṭibī juga mengingatkan bahaya akademis dari membiasakan diri pada kajian yang tidak berdampak pada amal. Kegiatan semacam itu cenderung memicu fitnah, fanatisme kelompok, dan keluar dari sunnah, karena menguras energi pada hal-hal yang tidak menambah taqarrub kepada Allah. Dalam konteks ini, bahkan jika pembahasan itu menarik secara intelektual, tetapi jika tidak ada persaksian syariat akan manfaatnya, maka ia harus dihindari.
Hikmah yang Diambil
- Pengetahuan dalam Islam dinilai dari manfaatnya dalam menggerakkan amal, bukan dari spekulasi atau hiburan intelektual semata.
- Pertanyaan dan kajian yang tidak menambah ketaatan atau mengurangi kemaksiatan adalah hal yang sebaiknya ditinggalkan.
- Mengetahui batas “ilmu yang bermanfaat” adalah bagian dari adab penuntut ilmu.
- Mengurangi debat pada hal-hal yang tidak berimplikasi hukum adalah cara menjaga persatuan umat dan fokus pada tujuan syariat.
Refleksi Kontemporer
Prinsip ini sangat relevan dengan kondisi diskursus keislaman modern, baik di perguruan tinggi, media sosial, maupun forum kajian. Banyak perdebatan publik tentang isu-isu teologis atau historis yang tidak memiliki implikasi hukum langsung, bahkan sering menimbulkan kebencian antar kelompok. Dengan menerapkan kaidah al-Syāṭibī, pembahasan yang bermanfaat adalah yang berdampak pada pembentukan akhlak, penguatan ibadah, dan penegakan keadilan sosial. Bahkan di era big data, ketika informasi berlimpah, kemampuan untuk memilah pengetahuan yang bermanfaat secara syar‘i adalah keterampilan yang sangat penting.
Muqaddimah kelima ini adalah seruan untuk memurnikan proses pencarian ilmu dari topik-topik yang tidak mendekatkan pada Allah. Batasnya jelas: ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendorong amal hati dan amal anggota badan sesuai tuntunan syariat. Mengabaikan prinsip ini mengakibatkan umat terseret pada perdebatan sia-sia dan kehilangan fokus pada misi utama syariat: membentuk manusia yang beriman dan beramal saleh.
Referensi (APA)
Al-Syāṭibī, A. I. (n.d.). Al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-syarī‘ah (Jilid 1, hlm. 31–38). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .