![]()
(الشاطبي، جـ 1، صـ 23–28)
الأدلة العقلية إذا استعملت في هذا العلم فإنما تستعمل مركبة على الأدلة السمعية، أو معينة في طريقها، أو محققة لمناطها، أو ما أشبه ذلك، لا مستقلة بالدلالة؛ لأن النظر فيها نظر في أمر شرعي، والعقل ليس بشارع… وقد أدى عدم الالتفات إلى هذا الأصل وما قبله إلى أن ذهب بعض الأصوليين إلى أن كون الإجماع حجة ظني لا قطعي؛ إذ لم يجد في أحاد الأدلة بانفرادها ما يفيده القطع فأداه ذلك إلى مخالفة من قبله من الأمة ومن بعده؛ ومال أيضاً بقوم آخرين إلى ترك الاستدلال بالأدلة اللفظية… وهي قطعية بحسب هذا الترتيب من الاستدلال.
Dalam muqaddimah ketiga ini, al-Syāṭibī menegaskan bahwa dalil-dalil akal dalam ilmu usul fiqh tidak digunakan secara berdiri sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan dalil syar‘i. Fungsinya adalah membantu menjelaskan, menguatkan, atau menetapkan illat dari dalil wahyu, bukan menjadi sumber hukum independen. Sebab, menurut beliau, pembahasan dalam usul fiqh adalah perkara syar‘i, dan akal bukanlah pembuat syariat. Dengan demikian, dalil utama dalam usul fiqh adalah dalil sam‘i, namun dalil ini secara parsial jarang memberikan kepastian (qat‘i) bila berdiri sendiri, karena sering terikat pada premis-premis tambahan yang sifatnya zhannī, seperti makna bahasa, kaidah nahwu, pengecualian, atau kemungkinan adanya nasikh-mansukh.
Karena itu, al-Syāṭibī menekankan metode istiqrā’ atau induksi komprehensif: mengumpulkan banyak dalil parsial yang semuanya menunjuk pada satu makna yang sama, sehingga kesimpulan yang dihasilkan menjadi qat‘i. Contoh klasiknya adalah kewajiban shalat: jika hanya didasarkan pada ayat “Aqīmū al-shalāh”, mungkin masih terbuka ruang perdebatan dari aspek bahasa atau makna, namun ketika ayat ini diperkuat oleh puluhan dalil lain baik berupa ancaman bagi yang meninggalkan, penegasan kewajiban dalam berbagai kondisi, hingga ijma‘ ulama maka kewajiban shalat menjadi perkara yang bersifat darurī dalam agama, setara dengan kepastian bahwa membunuh tanpa hak adalah haram.
Metode istiqrā’ ini juga yang melahirkan kaidah besar maqāṣid syariah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tidak ada satu ayat atau hadis tunggal yang menyatakan daftar lima kaidah ini, tetapi kepastian tentangnya lahir dari gabungan dalil-dalil yang tersebar di banyak bab hukum. Di sini al-Syāṭibī menunjukkan bahwa kekuatan kesimpulan terletak pada integrasi dalil, bukan pada dalil tunggal.
Beliau lalu mengaitkan hal ini dengan prinsip istidlāl mursal yang digunakan Imam Mālik dan Imam al-Syāfi‘ī, yaitu penggunaan prinsip umum syariat untuk menetapkan hukum cabang tertentu meski tidak ada nas khusus. Begitu juga dengan konsep istihsān di kalangan Mālikiyyah, yang pada hakikatnya mendahulukan maslahat yang sejalan dengan kaidah umum syariat dibandingkan dengan qiyas formal. Menurut al-Syāṭibī, metode ini sah jika kaidah umum yang menjadi acuannya sudah terbukti qat‘i melalui istiqrā’.
Di akhir pembahasan, beliau mengkritik sebagian ulama usul yang gagal memahami pentingnya gabungan dalil. Akibatnya, mereka menganggap bahwa hujjahnya ijma‘ bersifat zhannī karena tidak menemukan satu dalil qat‘i tunggal yang menunjukkannya. Demikian pula ada yang menolak penggunaan dalil lafzi untuk menetapkan perkara adat, atau bahkan meragukan sifat qat‘i dari beberapa kaidah usul. Padahal, jika seluruh dalil yang relevan dikumpulkan dan dianalisis secara terpadu, hasilnya akan bersifat qat‘i sesuai metode istiqrā’ yang beliau jelaskan.
Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:
- Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
- Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
- Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
- Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
- Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
- Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
- Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
- Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
- Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
- Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
- Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.
Hikmah
- Hukum syariat tidak selalu ditetapkan oleh satu dalil tunggal, tetapi seringkali oleh akumulasi dalil.
- Akal memiliki peran penting, namun sebagai pelayan dalil wahyu, bukan pengganti wahyu.
- Metode istiqrā’ menjadi jembatan untuk mencapai kepastian hukum dalam masalah yang dalil parsialnya bersifat zhannī.
- Memahami maqāṣid memerlukan pendekatan kolektif terhadap nash, bukan atomistik.
Refleksi Kontemporer
Metode ini sangat relevan untuk problematika modern yang kompleks, seperti hukum fintech, rekayasa genetika, atau regulasi lingkungan. Tidak ada satu ayat atau hadis yang membahasnya secara spesifik, namun dengan menggabungkan prinsip umum syariat yang teruji qat‘i (misalnya larangan merugikan orang lain, kewajiban menjaga kehidupan), kita dapat merumuskan fatwa yang kokoh. Sayangnya, banyak perdebatan di era digital lahir karena orang hanya mengambil satu dalil parsial tanpa melihat keterpaduan dalil-dalil lain yang memperkuatnya.
Muqaddimah ketiga dalam versi lengkap ini menegaskan bahwa dalil akal tidak berdiri sendiri dalam usul fiqh, bahwa dalil syar‘i parsial jarang bersifat qat‘i tanpa gabungan dalil lain, dan bahwa kepastian hukum dicapai melalui istiqrā’ menyeluruh. Prinsip ini menjadi fondasi penting dalam memahami maqāṣid dan mencegah kesalahan ijtihad yang lahir dari analisis parsial.
Referensi (APA)
Al-Syāṭibī, A. I. (n.d.). Al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-syarī‘ah (Jilid 1, hlm. 23–28). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .