![]()
Imam Abū Isḥāq al-Syāṭibī (w. 790 H) dalam al-Muwāfaqāt membuka karyanya dengan meletakkan sebuah fondasi yang sangat penting bagi seluruh bangunan hukum Islam, yakni kepastian (qat‘īyah) ilmu usul fiqh. Beliau menegaskan bahwa usul fiqh dalam agama adalah sesuatu yang bersifat qat‘i, bukan zhannī, sebab ia kembali kepada kulliyyāt al-syarī‘ah (prinsip-prinsip pokok syariat). Dalam kerangka berpikir al-Syāṭibī, semua yang kembali kepada kulliyyāt adalah qat‘i karena kulliyyāt itu sendiri bersumber dari wahyu yang terjaga dan tidak mungkin salah. Beliau menulis, “Sesungguhnya usul fiqh dalam agama adalah sesuatu yang qat‘i, bukan zhannī. Dalilnya adalah karena ia kembali kepada prinsip-prinsip universal syariat, dan setiap yang kembali kepada prinsip-prinsip tersebut bersifat qat‘i” (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 19). Pernyataan ini menjadi fondasi epistemologis yang memastikan bahwa metodologi penetapan hukum Islam tidak dibangun di atas dugaan, tetapi di atas kepastian yang kokoh. Jika usul fiqh dibiarkan bersifat zhannī, konsekuensinya adalah rapuhnya fondasi ijtihad, yang pada akhirnya akan melemahkan seluruh struktur hukum yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu, al-Syāṭibī sejak awal mengunci bahwa metodologi haruslah seteguh prinsip-prinsip agama itu sendiri.
Penegasan al-Syāṭibī ini didasarkan pada dua alasan mendasar. Pertama, usul fiqh bersumber dari prinsip-prinsip akal yang pasti (uṣūl ‘aqliyyah qat‘iyyah) atau dari hasil istiqrā’ kullī (induksi menyeluruh) terhadap hukum-hukum parsial yang kemudian membentuk kaidah umum yang pasti. Kedua sumber ini sama-sama menghasilkan keyakinan yang tidak mungkin digoyahkan oleh dugaan. Dalam logika hukum Islam, sesuatu yang lahir dari hal-hal yang pasti, maka ia pun pasti. Kedua, usul fiqh bertautan langsung dengan prinsip-prinsip besar syariat (kulliyyāt syar‘iyyah) yang tidak mungkin terkena zhann. Al-Syāṭibī menegaskan bahwa zhann hanya berkaitan dengan perkara-perkara juz’iyyāt (parsial), sedangkan kulliyyāt bersifat qat‘i. Jika zhann dibolehkan masuk ke wilayah kulliyyāt, berarti membuka peluang keraguan terhadap asal syariat itu sendiri, yang merupakan kullī pertama, dan ini jelas mustahil secara syar‘i dan ‘urf (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 19–20).
Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:
- Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
- Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
- Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
- Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
- Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
- Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
- Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
- Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
- Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
- Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
- Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.
Al-Syāṭibī juga menegaskan bahwa kulliyyāt yang dimaksud dalam konteks ini adalah tiga tingkatan maslahat: ḍarūriyyāt, ḥājiyyāt, dan taḥsīniyyāt. Kategori pertama, ḍarūriyyāt, mencakup lima prinsip pokok yang dikenal luas dalam teori maqāṣid: menjaga agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl). Hilangnya salah satu dari kelima hal ini akan meruntuhkan kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Kategori kedua, ḥājiyyāt, adalah hal-hal yang meskipun bukan kebutuhan pokok, tetapi dibutuhkan untuk meringankan kesulitan hidup, seperti rukhsah dalam ibadah bagi musafir atau orang sakit. Sedangkan kategori ketiga, taḥsīniyyāt, adalah hal-hal yang memperindah dan menyempurnakan kehidupan, seperti adab berpakaian, tata krama makan, dan sikap sopan dalam interaksi sosial. Menurut al-Syāṭibī, seluruh bangunan usul fiqh berkaitan langsung dengan penjagaan tiga tingkatan maslahat ini, sehingga statusnya haruslah qat‘i. Sebab jika ia zhannī, maka prinsip penjagaan maslahat akan menjadi goyah, dan ini bertentangan dengan jaminan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang menjaganya” (QS. al-Ḥijr: 9) dan “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu” (QS. al-Mā’idah: 3) (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 21). Ayat-ayat ini, dalam pandangan beliau, lebih tepat ditafsirkan sebagai janji pemeliharaan terhadap prinsip-prinsip besar agama, bukan setiap cabang permasalahan parsialnya.
Selanjutnya, al-Syāṭibī membangun argumentasi ketiga: posisi usul fiqh terhadap syariat seperti posisi usuluddin terhadap agama. Keduanya adalah kerangka pokok yang menjadi pijakan seluruh bangunan keilmuan Islam. Dalam usuluddin, telah menjadi ijma‘ bahwa zhann tidak dapat dijadikan asas, karena akidah harus dibangun di atas dalil qat‘i. Maka, kata al-Syāṭibī, demikian pula dalam usul fiqh, meskipun ruang lingkupnya berbeda, keduanya sama-sama termasuk kulliyyāt yang dijaga dalam setiap agama, dan keberadaannya masuk dalam kategori hifẓ al-dīn dari tingkatan ḍarūriyyāt (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 20). Perbedaan hanya terletak pada objeknya: usuluddin memelihara keyakinan, sedangkan usul fiqh memelihara metodologi istinbāṭ hukum. Tetapi keduanya satu derajat dalam hal keharusan qat‘īyahnya.
Al-Syāṭibī tidak menutup mata bahwa di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah semua kaidah usul harus qat‘i. Beliau mencatat pandangan al-Qāḍī Ibn al-Ṭayyib yang tidak memasukkan rincian-rincian ‘illat seperti ‘aks al-‘illah, mu‘āraḍah al-‘illah, atau rincian dalam ilmu musthalah seperti jumlah perawi dan status mursal ke dalam kategori usul, karena semua itu bersifat zhannī. Di sisi lain, Imam al-Juwaynī membolehkan memasukkannya, dengan alasan bahwa rincian tersebut dibangun di atas asas qat‘i, sehingga secara substansi tetap termasuk dalam cakupan dalil qat‘i. Al-Māzarī bahkan lebih longgar: menurutnya, tidak ada alasan untuk mengeluarkan kaidah-kaidah zhannī dari usul selama ia berfungsi sebagai qawā‘id kulliyyah (kaidah umum) yang dapat menguji dalil parsial, meskipun tidak dimaksudkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Namun al-Syāṭibī mengkritik kelonggaran ini. Baginya, jika sebuah kaidah akan menjadi “hakim” yang menguji dalil, maka kaidah itu harus lebih kuat daripada dalil yang diujinya. Jika kaidah itu hanya zhannī, bagaimana mungkin ia dapat memutuskan validitas dalil qat‘i? Ini seperti memberikan wewenang memutuskan perkara besar kepada hakim yang integritasnya diragukan—sesuatu yang secara rasional tidak dapat diterima (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 21–22).
Kritik ini memperlihatkan konsistensi al-Syāṭibī dalam menjaga kesesuaian epistemologi dan metodologi. Dalam pandangannya, kaidah yang menjadi pengawas atas dalil harus memiliki tingkat kepastian yang sama atau lebih tinggi dibanding dalil tersebut. Hal ini berlaku meskipun kaidah itu tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, melainkan sebagai instrumen penguji dalil lain. Sebab, dalam kedudukannya sebagai instrumen, kaidah tersebut tetap berperan menentukan validitas hasil istinbāṭ. Maka, al-Syāṭibī menutup muqaddimah ini dengan sebuah prinsip baku: kaidah yang zhannī tidak dapat dijadikan usul secara mutlak. Jika ada kaidah zhannī dalam usul, ia hanya hadir sebagai cabang (tafrī‘) dari asas qat‘i, mengikuti dan bersandar kepadanya, bukan dimaksudkan sebagai pokok asal (qaṣd al-awwal) (al-Syāṭibī, n.d., jld. 1, hlm. 22). Prinsip ini menjadi pagar pengaman agar bangunan usul fiqh tetap kokoh dan dapat memikul beban ijtihad di setiap zaman.
Hikmah yang Dapat Diambil
Dari uraian Imam al-Syāṭibī (n.d., jld. 1, hlm. 19–22) dalam Muqaddimah Pertama, ada sejumlah pelajaran mendalam yang dapat kita petik. Pertama, ilmu usul fiqh adalah pondasi seluruh bangunan hukum Islam, sehingga kualitas dan kekokohan hukum sangat ditentukan oleh kualitas metodologi ini. Inilah alasan mengapa al-Syāṭibī begitu menekankan sifat qat‘ī dalam usul fiqh sebab jika fondasi ini rapuh, maka hukum-hukum cabang yang dibangun di atasnya juga akan goyah. Kedua, memahami perbedaan antara kulliyyāt dan juz’iyyāt adalah kunci menjaga integritas syariat. Kulliyyāt yang bersifat prinsipil dan menyangkut maqāṣid harus dijaga kemurniannya dari keraguan, sementara juz’iyyāt memiliki ruang interpretasi dan perbedaan pendapat. Ketiga, posisi usul fiqh sejajar dengan usuluddin dalam hal kebutuhan akan kepastian. Meskipun objeknya berbeda, usuluddin memelihara akidah, usul fiqh memelihara metodologi istinbāṭ, keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga kestabilan agama. Keempat, kaidah yang menjadi hakim atas dalil harus memiliki otoritas epistemik yang sama atau lebih kuat dibanding dalil tersebut. Prinsip ini mengajarkan pentingnya integritas metodologi dalam pengambilan keputusan hukum. Kelima, tidak semua kaidah yang populer di buku usul harus diterima tanpa kritik. Sebagian kaidah yang bersifat zhannī hanya dapat dipakai sebagai pelengkap atau turunan dari asas qat‘i, bukan sebagai fondasi utama. Kesadaran ini mencegah kita terjebak pada formalisme metodologi tanpa mempertimbangkan validitas epistemiknya.
Di era modern, pesan Muqaddimah Pertama al-Syāṭibī semakin relevan. Arus informasi yang begitu cepat membuat pendapat hukum dapat tersebar luas hanya dalam hitungan jam melalui media sosial, tanpa proses verifikasi metodologis yang memadai. Banyak klaim syariat yang diambil dari potongan teks atau fatwa yang lepas dari konteksnya, lalu disebarkan seolah mewakili keseluruhan pandangan Islam. Dalam situasi seperti ini, kekuatan usul fiqh yang qat‘i menjadi filter penting untuk memilah mana pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan dan mana yang hanya opini lepas. Prinsip al-Syāṭibī bahwa metodologi harus seteguh prinsip agama itu sendiri memberikan arah agar ijtihad di era digital tetap terkendali dan terpercaya. Misalnya, dalam isu-isu kontemporer seperti fintech syariah, bioetika, atau kebijakan lingkungan, kita memerlukan kaidah usul yang kuat untuk memastikan bahwa fatwa yang dihasilkan benar-benar selaras dengan maqāṣid syariah, bukan sekadar mengikuti arus tren atau tekanan publik. Selain itu, kesadaran akan perbedaan antara kulliyyāt dan juz’iyyāt mencegah kita memaksakan keseragaman dalam hal-hal parsial yang memang terbuka untuk perbedaan pendapat. Ini memberi ruang bagi keragaman pendapat yang sehat tanpa merusak prinsip-prinsip dasar agama. Dengan kata lain, pesan al-Syāṭibī mengajak kita untuk menggabungkan keteguhan pada prinsip dan kearifan dalam aplikasi, dua hal yang menjadi bekal penting dalam menjaga relevansi hukum Islam lintas zaman dan lintas budaya.
Simpulan
Muqaddimah Pertama al-Muwāfaqāt karya Imam al-Syāṭibī adalah deklarasi epistemologis bahwa usul fiqh harus bersifat qat‘i. Beliau mendasarkan pandangan ini pada tiga argumen utama: (1) sumbernya adalah prinsip akal yang pasti atau hasil istiqrā’ kullī yang menghasilkan kepastian, (2) keterkaitannya dengan kulliyyāt syariat yang tidak mungkin terkena zhann, dan (3) analoginya dengan usuluddin yang disepakati harus qat‘i. Dalam pandangan beliau, kaidah zhannī tidak layak menjadi fondasi utama, melainkan hanya boleh menjadi cabang yang bersandar pada asas qat‘i. Prinsip ini dijaga untuk memastikan bahwa metodologi istinbāṭ hukum Islam memiliki kekuatan dan keandalan yang setara dengan prinsip-prinsip agama yang dijaganya. Relevansi pesan ini melampaui zamannya, menjadi panduan bagi ulama dan cendekiawan Muslim masa kini untuk memastikan bahwa ijtihad yang dilakukan tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga kokoh secara epistemologis dan selaras dengan maqāṣid syariah. Dalam dunia yang penuh dinamika dan perubahan cepat, keteguhan metodologi ini adalah kunci menjaga hukum Islam tetap hidup, relevan, dan terpercaya.
Referensi
Al-Syāṭibī, A. I. (n.d.). Al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-syarī‘ah (Jilid 1). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qur’an al-Karīm.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .