![]()
Kemarin, saya pergi ke Samarinda. Ada undangan yang tak bisa saya tolak, pelantikan Pimpinan Pusat Muslimat NU sekaligus forum diskusi bersama Ketua PBNU dan jajaran pengurus wilayah serta cabang NU se-Kalimantan Timur. Acara itu penting. Tapi seperti biasa, setiap langkah kaki yang menjauh dari rumah, selalu membawa satu kantung rasa yang tidak bisa dikemas rapi: rindu.

Rindu kepada anak-anak. Rindu kepada istri. Rindu pada suara yang tak bisa tergantikan oleh dering telepon atau video call. Apalagi Naja, anak perempuan saya yang paling kecil. Dalam diamnya, dia paling peka. Dalam tawanya, dia paling mengobati. Dalam pelukannya, dia paling membuat saya merasa pulang.
Ketika acara usai, sebelum pulang, saya sempatkan mampir ke toko oleh-oleh. Tidak banyak, hanya beberapa makanan kesukaan dan boneka kecil. Tapi saya membelinya dengan hati yang penuh, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban sebagai ayah yang pulang membawa buah tangan. Saya ingin ia tahu bahwa meski saya jauh, namanya tetap hadir di setiap langkah.
Sesampainya di rumah, pintu belum sepenuhnya terbuka ketika saya melihat Naja berlari kecil. Matanya berbinar. Ia langsung memeluk saya erat, seperti takut saya akan pergi lagi. Ia menciumi pipi saya sambil tertawa, “Abi bawa hadiah?” Saya keluarkan oleh-oleh dari tas, dan ia bersorak girang. Tapi yang lebih membuat hati saya runtuh adalah ucapannya sesudah itu, “Abi, jangan pergi lagi ya, aku kangen.”
Saya diam. Dunia saya berhenti sejenak. Dalam pelukannya, saya tak lagi merasa penting karena jabatan atau aktivitas. Saya merasa penting karena saya menjadi bagian dari hidup seorang anak kecil yang mencintai saya tanpa syarat.
Hati saya mencair. Dalam pelukan kecil itu, saya merasakan ampunan, cinta, dan makna yang tak bisa dijelaskan oleh logika. Saya bukan ayah yang sempurna. Kadang saya terlalu sibuk. Tapi di pelukan anak, saya selalu menemukan jalan pulang yang paling lurus.
Lalu saya teringat pada satu kisah yang ditulis oleh ulama besar Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani, dalam kitabnya Qomi’ut Tughyan. Beliau meriwayatkan sebuah kejadian mulia dari zaman Nabi Muhammad Saw. Dikisahkan Sayyidina Ali ra. bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi dengan perasaan penuh sesal atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Namun ia tak sanggup mengucapkannya karena malu. Nabi berkata, “Apakah kamu malu kepadaku untuk mengatakannya, sementara kamu tidak malu kepada Allah. Dia melihatmu pada saat kamu melakukan dosa itu. Bangkitlah dan keluarlah dari sisiku agar tidak ada api di sisiku.”
Lelaki itu pun pergi dengan hati yang hancur. Tapi tak lama setelah itu, Jibril datang dan berkata kepada Rasulullah bahwa lelaki itu masih memiliki penebus dosa bukan dengan istighfar panjang, bukan dengan harta, tetapi… karena ia memiliki seorang anak kecil. Setiap kali pulang ke rumah dan sang anak datang menyambut, lalu ia memberinya makan atau sesuatu yang membuatnya bahagia, maka kebahagiaan si anak itu menjadi penebus dosa bagi ayahnya.
Subhanallah. Lihatlah betapa dalam cinta orang tua kepada anak. Bahkan, di hadapan Allah, kasih yang ditunjukkan kepada anak, senyum yang kita ciptakan di wajah mereka, bisa menjadi penebus kesalahan. Karena dari cinta kepada anak, lahir kelembutan, pengorbanan, dan cinta yang tulus dan itulah nilai-nilai ilahiyah yang agung.
Saya terdiam lama setelah membaca kisah itu. Betapa Allah Maha Lembut. Bahkan, kesenangan seorang anak yang menerima makanan kecil dari orang tuanya bisa menjadi penghapus dosa. Bukan karena makanannya, tapi karena cinta yang mengiringinya. Karena keikhlasan ayah dalam membahagiakan anak. Karena getaran cinta yang tulus itu adalah bahasa langit yang tak pernah tertukar di hadapan Allah.
Kisah itu membuat saya menangis. Saya bukan ayah yang sempurna. Kadang pulang larut, kadang terlalu lelah untuk bermain. Tapi jika Allah masih melihat pelukan saya pada Naja, senyum yang saya ukir di wajah mungilnya, sebagai bentuk taubat dan penebus dosa… maka sungguh, itulah jalan pulang yang sebenarnya.
Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa anak-anak saya. Tapi lebih dari itu, saya kini mengerti bahwa anak-anak kita bukan hanya amanah, mereka adalah rahmat. Mereka adalah jembatan menuju ampunan Allah yang kita sendiri mungkin tak pantas memintanya. Tapi lewat ciuman mereka, lewat mata berbinar mereka yang memanggil “Abi,” Allah masih memberi kita harapan.
Saya pernah mendengar seorang ulama berkata, “Ketika kamu merasa tak layak masuk surga, tataplah wajah anakmu. Barangkali cintamu padanya cukup menjadi saksi bahwa kamu pernah mencintai dengan cara yang paling jujur.”
Malam itu, sebelum tidur, saya peluk Naja lebih erat. Saya bisikkan di telinganya, “Abi sayang kamu karena Allah.” Dan saya berdoa dalam hati, “Ya Allah, jika aku terlalu banyak salah dalam hidup ini, jangan lihat aku, lihatlah senyum anak-anakku. Lihat bagaimana aku mencintai mereka sepenuh jiwa, dan jadikan itu penghapus dosaku.”
Mungkin kita sering berusaha menjadi hebat di luar sana. Tapi sesungguhnya, kebaikan terbesar kita sering tersembunyi dalam hal-hal yang tampak sepele, sebuah pelukan hangat, sebuah oleh-oleh kecil, sebuah senyum di wajah anak yang menyambut kita pulang.
Dan mungkin… itulah yang di langit disebut sebagai bentuk cinta paling murni. Cinta yang bisa mengetuk pintu-pintu rahmat Allah.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .