Pernikahan Impian: Sebuah Refleksi Pernikahan ke-15

Loading

Aku mengenalnya dari seorang sahabat lama, seseorang yang pernah berbagi kenangan semasa kuliah. Kebetulan, dia adalah teman satu pondok pesantren denganku. Namun, waktu dan jarak telah membuat intensitas pertemuan kami semakin menipis. Lalu, pada suatu hari, sahabatku membawa kabar tentang seorang perempuan yang digambarkan seperti bidadari, “secantik Fatimah dan seindah Khadijah”—persis seperti kriteria yang selalu kuimpikan untuk menjadi pendamping hidupku.

Berbekal sebuah nomor telepon, getaran-getaran kecil dari pulsa mulai menembus belantara Kalimantan, menjembatani antara dua hati yang tak saling mengenal. Hanya lewat pesan singkat dan telepon yang tak lebih dari beberapa menit, aku mencoba mendekatinya. Barangkali perkenalan ini terlalu singkat, atau mungkin aku yang terlalu terburu-buru, tetapi aku yakin, jika tak segera melangkah, aku akan terjebak dalam imajinasi yang tiada ujung.

Dua minggu aku menghubunginya sebelum akhirnya memberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Namun, dua bulan sebelumnya, ada firasat yang mengusik hatiku—sebuah pertanda yang mungkin bisa menjadi awal dari kisah yang tak kuharapkan. Namun, aku memilih menepisnya. Aku percaya, atas nama cinta, semua itu hanyalah bayangan samar, bukan kenyataan yang harus ditakuti.

Ketika akhirnya aku berdiri di hadapan rumahnya, dengan dada yang berdegup tak menentu, aku mengutarakan maksudku. Mungkin terdengar gila, dua minggu perkenalan lalu langsung berbicara soal pernikahan. Tapi bagiku, lebih baik mengungkapkan niat ini sekarang daripada membiarkan hatiku terus terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Jawaban yang kuterima tidak serta-merta sebuah penerimaan. Dia menolak. Dadaku sesak. Namun, entah dari mana keyakinan ini datang, aku tidak menyerah. Aku kembali mengirim pesan, sebuah proposal sederhana lewat SMS. Kali ini, dia memintaku menunggu selama seminggu.

Minggu itu terasa seperti abad yang panjang. Setiap hari terasa hampa, setiap detik serasa menertawakanku. Aku hanyalah seorang lelaki sederhana, anak seorang nelayan yang bermimpi memiliki cinta suci. Apakah mimpiku terlalu tinggi? Apakah aku berharap terlalu banyak? Dan akhirnya, jawabannya datang.

Setelah beristikharah dan bermunajat, dia menerimaku. Aku tak tahu harus berkata apa. Syukurku meluap-luap, tanganku gemetar. “Terima kasih, cinta. Engkau telah memilihku, meski aku bukanlah Yusuf yang tampan, bukan Ibrahim yang gagah, apalagi Rasulullah yang penuh kebijaksanaan. Aku hanya lelaki biasa yang ingin mencintai dengan setulus hati. InsyaAllah, aku akan menjadi imam yang terbaik untukmu.”

Bagiku, pernikahan bukan sekadar janji dua insan. Ia adalah ikatan suci, perjalanan panjang menuju ridha Allah. Aku tahu, aku bukan manusia sempurna, tapi aku ingin menjadi yang terbaik baginya. Dalam pencarianku, aku selalu berharap menemukan seorang istri yang bukan hanya cantik dan berasal dari keturunan baik, tetapi juga memiliki kekuatan iman dan kebijaksanaan dalam mengelola kehidupan.

Seorang sahabat pernah bertanya, “Kenapa kau mencari istri yang sempurna? Bukankah kau sendiri jauh dari sempurna?” Aku tersenyum. “Bukan kesempurnaan yang kucari, tapi seseorang yang bersedia berjalan bersamaku menuju kebaikan. Aku tidak berharap dia seindah Bilqis jika aku bukan Sulaiman. Aku tidak menginginkan dia secantik Zulaikha jika aku tak setampan Yusuf. Aku tak mencari Khadijah jika aku tak sebijaksana Rasulullah. Aku hanya ingin seseorang yang, meski kami jauh dari sempurna, kami bisa saling melengkapi dan menguatkan.”

Dan kini, lima belas tahun berlalu. Waktu terus menguji cinta kami, tetapi aku bersyukur, aku memilihnya—dan dia memilihku. Kami tumbuh bersama, jatuh dan bangkit bersama, menangis dan tertawa bersama. Aku tahu, tak semua kisah cinta berakhir bahagia, tapi aku percaya, selama kita menjalaninya dengan ketulusan, Allah akan selalu meridhoi perjalanan ini.

About sismanto

Check Also

Bahaya Pernikahan Menurut Imam al-Ghazālī: Tiga Āfāt al-Nikāḥ yang Mengancam

Bahaya Pernikahan (Āfāt al-Nikāḥ) قال الإمام الغزالي:“أما آفات النكاح فثلاث: الأولى وهي أقواها العجز عن …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Sismanto

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading