Kitab Al-Muwafaqat Karya Imam Asy-Syatibi dan Gagasannya tentang Maqasid Syariah

Loading

Kitab al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‘ah karya Imam Abū Isḥāq al-Syāṭibī (w. 790 H) adalah salah satu mahakarya dalam bidang usul fiqh yang memadukan kedalaman teori hukum Islam dengan penghayatan terhadap maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu tujuan-tujuan luhur yang menjadi fondasi setiap ketentuan syariat. Al-Syāṭibī, seorang ulama besar dari Granada, Andalusia, menulis karya ini pada abad ke-8 Hijriah di tengah pergulatan intelektual dan politik yang melanda dunia Islam, khususnya di wilayah Maghrib. Latar belakang sosial dan politik yang penuh tantangan mendorongnya untuk merumuskan kembali pendekatan terhadap hukum Islam, bukan sekadar pada level teks, tetapi juga pada level tujuan dan kemaslahatan umat.

Dalam mukadimahnya, al-Syāṭibī memulai dengan memuji Allah, bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan kemudian menyampaikan kegelisahannya terhadap kondisi para penuntut ilmu di masanya. Ia melihat dua kelompok yang mendominasi: pertama, mereka yang sibuk mengkaji fikih dan fatwa secara detail, namun sering terjebak pada formalisme hukum; kedua, mereka yang tenggelam dalam debat dan perdebatan panjang, namun jauh dari tujuan ilmu yang sesungguhnya. Kedua kelompok ini, menurutnya, telah menyimpang dari ghayah al-‘ilm (tujuan tertinggi ilmu), yaitu pengamalan. Dari sinilah lahir tekadnya untuk menulis sebuah karya yang tidak hanya menjelaskan kaidah usul fiqh, tetapi juga mengungkap maqāṣid al-syarī‘ah dan rahasia di balik hukum-hukum Islam, sehingga ilmu dapat kembali menjadi sarana amal yang bermanfaat (al-Syāṭibī, n.d., jilid 1, hlm. 5).

أما بعد، فإني لما رأيت طلبة العلم في زماننا قد صاروا ينقسمون إلى فريقين: فريق يشتغلون بالفقه وفتاويه، وفريق يشتغلون بالجدل والمناظرة، وكلا الفريقين قد انحرفوا عن المقصود الأسمى من العلم، وهو العمل بمقتضاه، رأيت أن أكتب كتابا يبين مقاصد الشريعة وأسرارها، ويجمع بين الفقه وفهم المقاصد، ليكون عونا على العمل بها. (الشاطبي، د.ت، ج.1، ص. 5)

Terjemahan
“Amma ba‘du. Sesungguhnya, ketika aku melihat para penuntut ilmu di zaman kita ini telah terbagi menjadi dua kelompok: kelompok yang sibuk dengan fikih dan fatwanya, dan kelompok yang sibuk dengan debat dan diskusi, sedangkan kedua kelompok itu telah menyimpang dari tujuan tertinggi ilmu, yaitu mengamalkan apa yang dikandungnya, aku pun melihat perlu menulis sebuah kitab yang menjelaskan maqāṣid al-syarī‘ah dan rahasia-rahasianya, serta menggabungkan antara fikih dan pemahaman maqasid, agar menjadi penolong untuk mengamalkannya.” (al-Syāṭibī, n.d., jilid 1, hlm. 5)

Kutipan ini menunjukkan kegelisahan al-Syāṭibī terhadap realitas keilmuan pada masanya. Ia mengkritik dua fenomena: 1) Formalisme fikih – ketika fikih hanya menjadi kumpulan fatwa tanpa pemahaman tujuan syariat. 2) Debat kosong – ketika diskusi dan munazharah hanya menjadi ajang kemenangan retorika, bukan mencari kebenaran. Al-Syāṭibī ingin mengembalikan fokus ilmu kepada ghayah (tujuan utama) yaitu pengamalan. Dari sini lahir ide untuk menulis al-Muwāfaqāt, yang bukan sekadar kitab usul fiqh, tapi panduan memahami ruh syariat.

Baca Juga Seri Lengkap Kajian al-Muwāfaqāt Imam al-Syāṭibī:

  1. Pengantar & Biografi Imam al-Syāṭibī – Latar belakang, visi keilmuan, dan kedudukan kitab al-Muwāfaqāt dalam khazanah usul fiqh.
  2. Muqaddimah Pertama – Usul Fiqh dan Dalil Qat’i – Penegasan kedudukan dalil qat’i dalam membangun fondasi hukum.
  3. Muqaddimah Kedua – Premis dan Dalil Qat’i – Kriteria premis dan sumber dalil yang bersifat pasti.
  4. Muqaddimah Ketiga – Metode Istiqra’ dan Dalil Qat’i – Peran istiqra’ (induksi) dalam penetapan hukum syariat.
  5. Muqaddimah Keempat – Batasan Materi Usul Fiqh – Penentuan batas bahasan yang sah dalam disiplin usul fiqh.
  6. Muqaddimah Kelima – Ilmu yang Bermanfaat Menurut al-Syāṭibī – Kriteria ilmu yang mendorong pengamalan syariat.
  7. Muqaddimah Keenam – Metode Penjelasan Syariat – Cara syariat menjelaskan hukum yang sesuai daya tangkap umat.
  8. Muqaddimah Ketujuh – Tujuan Ilmu Syar’i – Fokus ilmu syar’i sebagai wasilah ibadah dan ketaatan.
  9. Muqaddimah Kedelapan – Ilmu Penggerak Amal – Relasi erat antara pengetahuan dan pengamalan.
  10. Muqaddimah Kesembilan – Klasifikasi Ilmu – Pembagian ilmu menjadi pokok, pelengkap, dan yang tidak bernilai syar’i.
  11. Muqaddimah Kesepuluh – Naql dan Aql – Prinsip keterpaduan antara wahyu dan rasionalitas dalam hukum Islam.

Dalam kitab ini, al-Syāṭibī tidak hanya menjabarkan kaidah-kaidah usul fiqh sebagaimana tradisi ulama sebelumnya, tetapi juga membangun kerangka berpikir yang sistematis tentang maqāṣid al-syarī‘ah. Ia menegaskan bahwa syariat Islam hadir untuk memelihara lima kebutuhan pokok manusia agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dan bahwa semua hukum syariat, baik yang bersifat perintah maupun larangan, pada hakikatnya bermuara pada perlindungan terhadap lima hal tersebut. Pendekatan ini menjadikan al-Muwāfaqāt sebagai rujukan penting bagi para ulama kontemporer dalam mengembangkan hukum Islam yang relevan dengan konteks zaman tanpa kehilangan ruh aslinya.

Salah satu ciri khas al-Muwāfaqāt adalah penekanannya pada keterpaduan antara nash dan maslahat. Al-Syāṭibī menolak pendekatan yang hanya terjebak pada formalitas teks tanpa memahami hikmah dan tujuan yang terkandung di baliknya. Ia juga mengkritik sikap yang terlalu bebas menafsirkan hukum tanpa pijakan yang kuat pada dalil syar‘i. Dengan demikian, kitab ini mengajarkan keseimbangan: setia pada teks, sekaligus peka terhadap kemaslahatan yang ingin diwujudkan oleh syariat.

Dari segi metode, al-Syāṭibī menggabungkan analisis dalil naqli dan aqli, menggunakan pendekatan deduktif untuk menarik kesimpulan umum dari dalil-dalil partikular, serta pendekatan induktif untuk membuktikan kaidah-kaidah umum melalui contoh-contoh kasus. Gaya penulisannya kaya dengan argumentasi logis, ilustrasi, dan dialog kritis dengan pandangan ulama terdahulu. Hal ini membuat al-Muwāfaqāt bukan hanya kitab hukum, tetapi juga karya filsafat hukum Islam yang mendalam.

Refleksi terhadap pendahuluan ini membawa kita pada kesadaran bahwa al-Muwāfaqāt adalah kitab yang menuntut pembacanya untuk tidak hanya menghafal kaidah, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai syariat. Di tengah perubahan sosial dan tantangan modern, pesan al-Syāṭibī bahwa syariat selalu bertujuan menjaga kemaslahatan menjadi relevan sebagai panduan umat dalam merumuskan kebijakan, pendidikan, dan muamalah. Pendekatan maqāṣid yang ia bangun memberi peluang bagi hukum Islam untuk terus hidup dan dinamis, tanpa kehilangan otoritasnya.

About sismanto

Check Also

Bahaya Pernikahan Menurut Imam al-Ghazālī: Tiga Āfāt al-Nikāḥ yang Mengancam

Bahaya Pernikahan (Āfāt al-Nikāḥ) قال الإمام الغزالي:“أما آفات النكاح فثلاث: الأولى وهي أقواها العجز عن …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Sismanto

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading