![]()
Sebelum pindah liburan ke tempat simbahnya di Magetan, Nala, anak laki-laki saya dan Nahla, anak perempuan saya ingin jumpa pamannya atau adik saya paling ragil yang sedang menimba ilmu di salah satu madrasah salafiyah Matholiul Falah dab berada di pondok pesantren Al Husna 2 di daerah Kajen, Margoyoso, Pati.
Melihat keinginan ini saya menjadi bersemangat untuk mengantarkan Nala menemui pamannya di pondok pesantren. Hal ini saya lakukan sebagai bentuk pembelajaran kepada Nala tentang dinamika dan lika-liku kehidupan pesantren. Meskipun hanya sebentar bertemu dengan pamannya di pondok pesantren, minimal memberikan gambaran kepada Nala tentang pentingnya belajar agama sejak dini di pesantren.
Muncul keinginan pada diri saya kelak bila Nala setelah lulus sekolah dasar akan saya sekolahkan untuk belajar agama di pondok pesantren. Saya sampaikan sebuah cerita sederhana kepada Nala tentang salah satu tokoh mazhab terbesar di dunia Imam Abu Ahmad bin Hambal (Imam Hambali) bahwasanya selama belajar 50 tahun. Beliau belajar tentang adab (tata kerama, sopan santun, subosito) selama 30 tahun dan belajar ilmu selama 20 tahun.
Di dalam dunia pengajaran pesantren, biasanya kitab yang diajarkan terlebih dahulu adalah kitab tentang adab belajar ta’limul muta’alim. Hal ini mengindikasikan bahwa pesantren menginginkan dan mendidik para santrinya untuk mengedepankan adab daripada ilmu.
Makanya tidak mengherankan di era zaman sekarang seorang santri akan lebih "adem" menghadapi sebuah permasalahan dibandingkan seseorang yang bukan santri. Bila saya bahasakan secara sederhana, artinya bahwa seseorang yang telah belajar agama sejak dini cenderung lebih kenyang spiritual keagamaannya dibandingkan seseorang yang belajar agama di masa dewasanya.
Bisa jadi para santri sudah kenyang secara spiritual sehingga muncul keinginan keduniawian. Bila dikotomikan dalam memberikan pendidikan anak semasa kecil dihadapkan pada pilihan menyekolahkan anak pada pendidikan agama, pendidikan umum atau pilihan pendidikan kedua-duanya yang kadang-kadang tidak matang secara agama maupun secara akademis.
Sementara orang-orang yang hidup di kota-kota, kurang banyak mengenyam pendidikan agama, kalau dalam bahasa sederhananya orang-orang yang kenyang secara duniawi baru belajar agama di masa dewasa secara otodidak, melalui tulisan-tulisan atau media-media provokatif yang tidak bersanad langsung kepada Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.
Orang-orang kategori terakhir inilah yang menurut saya perlu reinterpretasi tentang konsep belajar agama, sehingga ketika menghadapi sebuah permasalahan tidak langsung serta merta menjustifikasi setiap permasalahan dengan benar dan tidak benar, antara surga dan neraka, dan menyikapi permasalahan-permasalahan dengan memosikan diri pada kondisi yang sok "agamis" dan paling "Islami".
Semoga saya dan Anda terhindar dari prasangka dan menganggap setiap pandangan keagamaan kita paling benar.
Sismanto Kumpul dan Berbaris . . .